Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2018/PN Btl | Edi Susanta, S.Ag | Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Bantul | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 22 Okt. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2018/PN Btl | ||||
Tanggal Surat | Senin, 22 Okt. 2018 | ||||
Nomor Surat | --- | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN Lampiran : Surat Kuasa Khusus
Kepada Yth. Ketua Pengadilan Negeri Bantul
Di_ Tempat
Dengan Hormat, Kami yang bertandatangan dibawah ini:
THOMAS NUR ANA EDI DHARMA, S.H. MOHAMAD NOVWENI, S.H. SUSMARTONO ARIWIBOWO, S.H. WILPAN PRIBADI, S.H. M.H. FRANSISKA MAHARANI, S.H. KIKI MINTOROSO, S.H. M.H.
Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Pada Kantor Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Pandawa (LKBH – PANDAWA) Alamat Kantor :Jl. Sultan Agung No.69 Yogyakarta 55111 Telp : 0813 9126 0186, 0858 7093 5881, 0878 3917 2111 Baik sendiri maupun bersama-sama.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 19 September 2018 betindak untuk dan atas nama: Nama : Edi Susanta, S.Ag Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Krapyak Kulon RT:05 Panjangrejo, Pundong, Bantul. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.
---------------------------- MELAWAN -------------------------------
Nama : PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH D.I.YOGYAKARTA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR BANTUL Cq KEPALA SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL KEPOLISIAN RESOR BANTUL (KASAT RESKRIM POLRES BANTUL). Alamat : Jalan Jenderal Sudirman No.202 Bantul-55711 Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.
Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai TERSANGKA dalam dugaan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH D.I.YOGYAKARTA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR BANTUL Cq KEPALA SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL KEPOLISIAN RESOR BANTUL (KASAT RESKRIM POLRES BANTUL).
DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law.Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Mengadili : Menyatakan : Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : [dst] Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 36 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan bahwa: “Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: adanya bukti permulaan yang cukup; dan
Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 43 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan bahwa: “Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”. Lebih lanjut dalam Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan bahwa: “Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri;
FAKTA-FAKTA HUKUM Bahwa Sejak Bulan September 2017 Pemohon Berkerja Sama Dengan Seseorang yang Benama Novita Sari Oktavia dalam hal Kerjasama Menjalanan Taksi Online;
ANALISIS HUKUM TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA: Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kepada Pemohon hanya berdasar padaBarang Bukti Bukti Kepemilikan Kendaraan Serta Saksi-Saksi yang mana hal hal Tersebut sama Sekali Tidak Bisa Membuktikan Bahwa Pemohon telah melakukan Tindak pidana Penggelapan Sebagaimana yang Telah Dituduhkan Kepada Pemohon;
PENANGKAPAN PEMOHON YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON BERTENTANGAN DENGAN ASAS LEGALITAS Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Apabila merujuk pada Pasal tersebut diatas, maka secara jelas dan nyata tindakan yang dilakukan oleh Termohon yang telah menangkap Pemohon bertentangan dengan dengan peraturan tersebut. Terkait adanya bukti permulaan yang cukup dipandang oleh Pemohon bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Sedangkan selama ini Pemohon selalu datang setiap diundang/dipanggil oleh Termohon, sehingga unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b jelas-jelas tidak terpenuhi.
PENAHANAN PEMOHON BERTENTANGAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum Presumption Of Innosence atau Azas Praduga Tak Bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
PENETAPAN TERSANGKA PEMOHON BERTETANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM Bahwa dalam penegakan hukum dikenal dengan asas kepastian hukum, asas ini adalah jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat. Kepastian pada intinya merupaka tujuan dari hukum, jika hukum tidak memiliki kepastian maka hukum akan kehilangan jati diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak lagi digunakan sebagai pedoman prilaku setiap orang. Dalam hal ini Pemohon sebelumnya telah melakukan Laporan kepada kepolisian Resor Kulonprogo atas Obyek yang sama yaitu1 unit kendaraan roda 4 dengan merek Nissan, Tipe: Grand Livina, No. Rangka: MHBG3CG1FHJ053405, No. Mesin: HR15742802T, Warna: Putih, NOPOL: AB-1672-IJ atas nama Novita Sari Oktavia selaku pemilik kendaraan tersebut dengan bukti Pelaporan LP/33/IV/2018/DIY/KULONPROGO pada Polres Kulonprogo yang sampai saat ini masih dalam proses Penyidikan sesuai dengan Surat nomor SP2H/122/RES.1.11./IX/2018/RESKIM tertanggal 24 September 2018 yang membuktikan saat ini telah terjadi proses hukum dengan obyek yang sama, hal tersebut tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum ketika Pemohon menjadi Pelapor Di Kepolisian Resor Kulonprogo dan kemudian Pemohon Menjadi Terlapor Di Kepolian Resor Bantul, Kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Kepolisian Resort Bantul Sedangkan disisi lain sedang berjalan proses hukum yang dilaporkan oleh Pemohon pada Kepoisian Resort Kulonrogo dengan obyek yang sama, maka akan terrjadi ketidapastian hukum apabila dua perkara tersebut dilanjutkan hingga kemudian terdapat putusan atas kedua perkara tersebut.
PETITUM:
Berdasar pada fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
Menerima permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Penggelapan dalam jabatan atau Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polres Bantul adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka a quo tidak SAH karena Tidak Sesuai Prosedur dan Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Menyatakan tidak sah segala penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkenaan dengan penangkapan atas diri Pemohon oleh Termohon;
Menyatakan tidak sah segala penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkenaan dengan penahanan atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Bantul yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Bantul yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Yogykarta, 22 Oktober 2018
Hormat kami. Para Penasehat Hukum
THOMAS NUR ANA EDI DHARMA, S.H.
MOHAMAD NOVWENI, S.H.
SUSMARTONO ARIWIBOWO, S.H.
WILPAN PRIBADI, S.H. M.H
FRANSISKA MAHARANI, S.H.
KIKI MINTOROSO, S.H. M.H.
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |